Oleng

Satu hal yang harus saya waspadai adalah masalah keuangan. Untuk sementara tabungan hadiah dari Walikota itu,  masih cukup untuk beberapa bulan kedepan  dengan catatan super hemat, hanya untuk makan thok, tidak ada acara nonton bioskop,  makan di resto dan tidak ada plesiran.
Orang tua sudah wanti-wanti,  Bapak menyerahkan sepenuhnya segala biaya kuliah ini kepada Pak lek.
Bulan ketiga sejak ada di Bogor pak lek baru kirim wesel via pos. Ngambil wesel di kantor pos biar cepat harus punya kartu C7 namanya.
Beberapa bulan kemudian kami harus pindah lagi, karena ternyata kost kami ini “kurang layak huni”, terbuat dari bilik dan tiang dari pohon bambu, kalau ada yang lewat kamar kami bergoyang-goyang dan rawan kebakaran, karena bilik bambunya itu.
Pindah ke jalan gunung gede, agak murah dan layak huni, sebuah pavilyun rumah karyawan dinas Penelitian Peternakan, kami tempati rame2. Sayangnya saat itu keuangan sudah mendekati titik kritis.
Kiriman wesel tak kunjung datang, kebutuhan terus menghantui terutama kebutuhan pangan dan bayar kost. Temen2 sekamar cukup baik dan pengertian, kiriman makanan dari ortu mereka dibagi rata sesama penghuni, hanya saya yang berkali-kali minta maaf karena nggak ada yang saya bagi.
Bulan berikutnya lebih parah lagi, kakak saya yang lulusan sekolah pertanian itu, belum dapat pekerjaan, adik nomor tiga  sekolah guru naik kelas 2, adik nomor 4 masuk SMA dan nomor 5 naik kelas 2 SMP, semua butuh dana.
Tanah bengkok, sebuah inventaris desa yang boleh digarap bapak, sebagai imbalan menjadi carik desa, telah lama digadai untuk membiayai kakak sekolah di SPMA dan adik2. Jadi nggak ada alasan saya mengeluh karena tidak mendapat kiriman dari orang tua. Saya hanya menyesal kenapa keadaan ini tejadi saat ini, pada saat saya harus berjuang dan berpikir bagaimana harus menghapal mata kuliah Matriks, kalkulus, Kimia Koloid dan fisika inti dan lain sebagainya. Belum lagi harus menghapal nama-nama latin semua tanaman yang ada disepanjang jalan antara kampus baranang siang sampai kampus dermaga Bogor.
Detik ini saya menghapal banyak-banyak, menyusup rasa lapar dan nggak tahu duit dari mana, sekejap itu juga hilang apa yang saya hapalkan itu. Parah…
Pikiran ini sulit saya ajak kompromi untuk menghapal apalagi menyelesaikan soal-soal latihan yang njlimet itu.
Saya hanya bisa berdoa kepada Allah, saya mensyukuri apa yang pernah saya alami sewaktu sekolah di Probolinggo itu sebagai suatu rahmat dan nikmat yang luar biasa. Mudah2 Allah akan memberikan jalan agar saya bisa keluar dari kemelut yang saya hadapi ini.
Ada warung diujung jalan Gunung Gede, warung itu dibuat dari sisa2 papan bekas dan atapnya dari daun ilalang. Disana saya sering berada,  ketika perut ini tidak sanggup menahan lapar. Saya katakan pada P. Rohman dan Bu Ina, pemilik warung itu – orang Cirebon.
“Kiriman saya belum datang, saya nggak punya uang untuk membeli nasi, boleh nggak saya ngutang, nanti kalau saya punya uang saya kembalikan” kata saya sambil menahan rasa malu yang sangat
“Boleh aja, tapi seadanya ya..., karena warung ini hanya untuk kuli2 yang sedang bangun jalan itu” kata P. Rohim menaruh iba
“Terima kasih Pak, saya sudah dibantu, kalau di rumah biasanya saya makan nasi lauknya tempe goreng sudah cukup” kata saya menahan haru
Mulai saat itu tanpa sepengetahuan temen2, saya selalu makan dengan cara mengutang dan saya tahu diri, saya makan nasi hanya berlauk tempe goreng saja, kadang2 ditambah sambal terasi plus bawang merah sedikit- saya yang bikin sendiri agar nggak ngrepotin.
Mungkin karena asupan gizi yang tidak memadai itu, pikiran jadi tidak mudah konsentrasi,walaupun demikian  semangat belajar,  saya  pacu demikian rupa untuk mengukuti teman2 lainnya. Tidak jarang untuk pergi kuliah kebaranang siang saya harus jalan kaki yang jauhnya sekitar 3 km.
Sesekali kiriman wesel dari Pak lek datang, itupun cukup untuk membayar hutang makan yang kemarin, untuk makan kedepan saya harus ngutang lagi. Tutup lubang.. gali lubang lagi…
Saya menyisakan sedikit untuk ongkos pergi ke Parung, ketempat saudara iparnya Pakde- kakaknya bapak. Kata bapak, beliau  jadi karyawan PU barangkali bisa nolong. Dihari libur itu, diatas angkot menuju Parung,  saya sempat berhayal, nanti ketemu beliau saya akan nekat pinjam untuk biaya kuliah dan saya akan kembalikan kalau sudah kerja.
Setelah nanya ke tukang ojek, ketemulah  nomor yang saya cari, saya kembali terkejut dan tidak berani berharap. Rumah Pak De Rohayat ini tidak beda dengan rumah bapak di kampung, anak2nya masih kecil2 dan jauh dari kesan berada.
Selesai bersilaturahmi saya pamit dengan mengucapkan terima kasih, karena sudah diterima berkunjung dan disuguhin makan segala.
Saya diberi uang sangu dari Pak de, sebetulnya saya nggak tega tapi kelihatannya beliau berharap saya mau menerimanya, walaupun sedikit. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih, lumayan untuk ganti transport ke Parung.
Diatas angkot yang membawa saya ke gunung gede, Kembali pikiran saya menerawang kosong-hampa. Rasanya saya hidup sebatang kara, jauh dari sanak saudara, tidak ada tempat mengadu dan meminta.
Ah…. Seandanya keadaan saat ini sama dengan yang di Probolinggo, saya bisa belajar dengan tenang, tanpa berpikir besok makan apa dan uangnya dari mana….
Saya merasakan perbedaan yang ekstrem sekali, kalau di Probolinggo rasanya hidup ini serba mudah, setiap ketemu orang, rasanya mereka semua tersenyum., saya menganggap semua itu sebagai anugerah. Tapi di Bogor ini, saya merasa seperti gembel,  jangankan tersenyum, melihat saja, mereka seolah sudah enggan, ini bencana pikir saya.


0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

RINGKASAN TULISAN

Kisah dalam Blog ini saya mulai dari saat kecil saya. Peristiwa yang tidak bisa saya lupakan adalah hujan abu, ketika gunung agung di Bali meletus, ini membuat desa saya selama 3 hari 3 malam serasa malam, karena gelap terus sepanjang hari. Peristiwa G-30-S PKI adalah peristiwa berikutnya yg pernah saya alami dan terasa miris dan memilukan.

Sekolah SMP saya letaknya disebelah barat lapangan besaran. Luasnya hampir dua kali lapangan sepak bola. Di sebelah barat lapangan itu ada bangunan tua, bekas rumah atau kantor pejabat pemerintah Hindia belanda. Disana bangunan SMP saya itu berada.

Siswi baru itu ternyata pindahan dari sekolah lain. Sopan dalam bicara, santun dalam bersikap. Putih bersih kulitnya. Teman saya memberi julukan si Mutiara dari Masamba. Di bagian ini saya curahkan betapa cinta itu memberi energi yang luar biasa.

Dibagian cerita ini, saya merasakan begitu bahagia. Masa SMA adalah masa terindah. Agaknya saya berbeda dengan yang lain, karena di saat ini biasanya cinta itu tumbuh. Namun saya merasakan keberhasilan yang lain selain cinta. Bagi saya, cinta itu masih melekat dari masa sebelum ini.

Jatuh dan bangun dalam kehidupan saya rasakan disini. Sampai saya punya pendangan bahwa kebanggaan saya bukan karena tidak pernah gagal, tapi kebanggaan saya adalah bagaimana bisa bangkit setiap kali jatuh.

Adalah tulisan Prof. Andi Hakim Nasution, intinya menceriterakan bahwa di IPB ternyata tidak sedikit anak yang gak mampu dalam segi biaya seperti saya. Tulisan ini dikutip dari Majalah TEMPO 24 Januari 1976.

Adalah kumpulan kata mutiara cinta, ada sekitar 105 pasal. Anda dapat menambahkan kata mutiara cinta milik anda disini, kalau pengin lihat hasilnya Klik disini.

Blogger Template by Blogcrowds